Puncak B29, Negeri di Atas Awan

April 11, 2015



"Perasaan kapan hari dari gunung? kok ke gunung lagi?"

Pertanyaan itu dilontarkan adik sepupuku saat aku bercerita akan ke gunung di libur Nyepi di bulan Maret ini. Kebetulan hari raya Nyepi 2015 jatuh di hari Sabtu, surga bagi kami para pekerja yang masih bekerja 6 hari dalam seminggu. Serasa tidak ingin menyia-nyiakan hari libur, seorang sahabat, Zain, mengajak kami untuk liburan. Terakhir kami liburan bersama Agustus 2014 ke Kawah Ijen.

Awalnya Zain mengutarakan keinginannya mengunjungi pantai Banyu Anjlok di Malang Selatan. Sahabat lainnya, Inka, mengusulkan untuk pergi ke Puncak B29, negeri di atas awan seperti yang disebut banyak orang, yang berada di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Dua tempat wisata ini sedang booming di media sosial Komunitas Backpacker Malang Raya karena keunikan dan keindahannya.

Karena dari kami tidak ada yang mengetahui rute ke Pantai Banyu Anjlok, akhirnya kami memutuskan untuk ke Puncak B29 saja. Setelah dipastikan tujuan wisata kali ini, kami mulai mengajak teman-teman yang lain. Aku mengajak travelmate paling setia, mas kesayangan ^_^. Inka mengajak Aji, pacarnya sekaligus teman kami juga, dan adiknya Indri. Kemudian ada sahabat yang lain yaitu Sohib dan Robin.

Sempat ragu akan ikut. Karena bertepatan dengan Nyepi di mana penduduk desa Argosari mayoritas adalah Hindu. Menurut kabar dari Robin yang tinggal di Lumajang, jalan menuju Puncak B29 ditutup. Nanti sudah jauh-jauh ke sana tapi ternyata tutup kan mengecewakan. Karena untuk menuju ke sana saja kira-kira kami harus naik motor selama kurang lebih 5 jam dari Kota Malang. Tapi karena teman-teman yang lain masih ngotot untuk tetap berangkat, yasudah :)

Kami janji berkumpul di rumah Inka sebelum jam 10.00. Karena rencananya akan berangkat jam 10.00 agar tidak kesiangan. Tapi Zain yang pagi itu baru pulang dari kerja karena mendapat shift malam, baru sampai di rumah Inka jam 10.45. Katanya dia terjebak macet di sepanjang jalan Singosari. Wajar sih, pasti banyak orang yang akan liburan.

Tidak lama setelah Zain datang, kami bergegas berangkat karena hari sudah siang. Dari kota Malang, kami memacu kendaraan agak cepat melewati Bululawang kemudian Krebet. Dari Krebet kami terpisah karena si mas ambil jalan lurus yang katanya juga jalan menuju Dampit, sedangkan yang lain berbelok lewat Turen. Karena sempat menoleh, akhirnya aku ajak mas balik arah.

Kemudian ada pertigaan lagi dan kami salah arah lagi. Harusnya belok kanan menuju turen, kami ambil arah lurus yang ternyata menuju Wajak. Untunglah kami belum terlalu jauh, mampir beli es degan sebentar, kemudian balik arah lagi. Rupanya aku dan si mas sudah tertinggal jauh dengan yang lain. Tapi perjalanan tetap berlanjut. Melewati jalanan naik turun dan berkelok-kelok. Sempat dapat kabar bahwa Zain jatuh dari motor karena tidak tahu bahwa ada jalan berlubang yang tergenang air di pinggir jalan.

Kurang lebih pukul 2 siang kami sampai di jembatan Piket Nol. Ternyata teman-teman yang lain behenti di sana. Kami juga ikut berhenti sebentar. Zain mengobati lukanya. Dari jembatan Piket Nol kita bisa melihat tanah yang sangat luas yang digunakan untuk aliran lahar dingin dari Gunung Semeru.

Robin memberitahu kami via bbm untuk segera melanjutkan perjalanan saja karena sudah dekat. Dan benar saja, tidak lama setelah kami melanjutkan perjalanan, di ujung jalan aku melihat Robin dan Sohib duduk di sebuah warung. Kami pun berhenti sebentar di situ. Melepas rindu karena sangat lama tidak bertemu dengan Robin sejak lulus kuliah. Ngobrol santai dengan ditemani semangkok es campur yang sangat melegakan tenggorokan di tengah cuaca yang panas.

Kemudian kami beranjak ke rumah Robin yang tidak jauh dari situ. Rumahnya berada di daerah Candipuro, Lumajang. Sampai di rumahnya, kami istirahat sebentar. Rumahnya adem, sejuk, pas banget berteduh di tempat seadem ini. Keluarga Robin juga ramah-ramah terhadap kami yang mungkin sudah merepotkan selama singgah di sana. :)

Setelah menyantap makanan dan minuman yang disuguhkan, kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan lagi. Saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul 4 sore. Langit yang tadinya cerah mulai berubah menjadi mendung. Setelah berjalan sebentar, kami berhenti di sebuah konter HP pinggir jalan.

Inka lupa tidak membawa memori eksternal untuk kamera DSLR nya. Jadi dia ingin membeli SD card adapter saja. Betapa kagetnya kami ketika sebuah micro sd kapasitas 4 giga beserta adapternya dibanderol dengan harga Rp 120.000. Mungkin si mbaknya yang jual gak tau kalau kami ini punya wawasan luas mengenai micro sd, MMC, dsb. :D Akhirnya Robin mengajak Inka untuk membeli di tempat lain. Inka mendapatkan SD card adapternya dengan harga Rp 7.000 saja. Perbedaan yang sangat jauh, kan.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi dengan menerjang hujan. Untuk menuju ke kecamatan Senduro, dari Kecamatan Candipuro kami melewati sebuah kecamatan yaitu Pasrujambe. Jalan yang kami lewati kebanyakan kanan kirinya adalah sawah atau hutan. Tapi masih ada juga pemukiman penduduk.

Sebelum maghrib, kami sudah masuk wilayah kecamatan Senduro. Tapi perjalanan masih panjang. Tanpa menghiraukan hujan, kami terus menyusuri jalan yang makin lama makin menanjak, gelap dan sepi. Kabut pun cukup tebal sehingga membuat udara sangat dingin dan juga membatasi jarak pandang kami. Beruntunglah ada rombongan lain yang mengendarai motor trail di belakang kami, kemudian menyalip, dan berjalan di depan kami.

Ada satu hal yang paling kuingat saat perjalanan menuju desa ini. Di tengah gelapnya jalan, tiba-tiba ada "sesuatu" yang entah apa itu, seperti melintas dengan cepat di depan roda motor yang aku tumpangi bersama si mas. Aku kira itu adalah seekor kucing. Tapi masak iya ada kucing di jalan yang gelap dan dingin ini? Karena kaget, sontak aku bilang ke mas, "Mas, apa itu tadi?". Mas cuma jawab, "Apa? Bukan apa-apa." Kemudian diam sambil melanjutkan perjalanan. Tidak beberapa lama setelah itu, aku juga seperti melihat ada bayangan putih seperti orang yang berdiri di pinggir jalan. Aku berusaha memperjelas pandanganku, tapi tidak juga jelas. Akupun mengalihkan pandangan ke arah yang lain tapi tidak menyampaikan lagi ke Mas. (Esoknya, saat perjalanan pulang Mas juga cerita bahwa melihat hal yang sama dengan yang aku lihat. Entah bagaimana dengan teman-temanku yang lain. Apapun itu, wallahualam...)

Akhirnya kami sampai di Desa Argosari pukul setengah 7 malam. Cuaca saat itu hujan cukup deras. Untuk menuju puncak, ada dua jalur yang bisa ditempuh. Bisa lurus atau belok kanan. Saat itu jalan yang belok kanan ditutup karena perayaan nyepi. Terpaksa kami mengambil jalan lurus. Tips : Jangan ke puncak B29 saat Nyepi. Kenapa? Jawabannya ada di paragraf berikutnya yaa ^_^

Sayangnya motor kami tidak bisa melewati jalan ini. Karena jalannya sangat menanjak dan juga masih berupa bebatuan yang terjal. Akhirnya kami menitipkan motor pada rumah warga. Setelah itu kami berjalan kaki untuk menuju Puncak B29. Sebenarnya bisa menggunakan jasa ojek, tapi aku terlalu takut untuk naik ojek di jalan yang kanan kirinya bisa dibilang adalah jurang. Jadi kami semua memutuskan untuk jalan kaki.

Tidak mudah berjalan di jalanan yang sangat menanjak, licin karena masih berupa tanah dan baru diguyur hujan. Tips : gunakan alas kaki yang mumpuni jika medannya seperti ini. Karena ada mbak-mbak yang cuma pakai sandal jepit, akhirnya dia kesusahan untuk jalan. Aku kira dari tempat parkir motor hanya perlu berjalan sejauh 1,5 Km seperti yang aku baca dari blog-blog lain. Ternyata perkiraanku salah. Setelah berjalan yang sangat lama (kira-kira 3 jam), dengan beberapa kali terpeleset dan terjatuh, aku dan mas sampai juga di loket. Robin, Sohib dan Zain sudah duluan sampai di sana. Sedangkan Aji, Inka dan Indri masih di belakang. Yaa, kemampuan masing-masing orang jelas berbeda.

Sambil menunggu Inka, Aji dan Indri, di situ kami ngobrol-ngobrol bersama 3 orang penduduk setempat, yang juga menjaga loket ini untuk menarik uang karcis. Di situ kami baru tahu, bahwa kami baru saja berjalan menanjak sejauh 7 km. Fiuuuh... Pantesan jauh, lama dan capek banget. Dan untuk menuju puncak, kami masih harus berjalan sejauh 1,5 km lagi.



Ternyata, jika melewati jalan yang ditutup tadi, kita bisa mengendarai motor hingga loket ini. Barulah jalan kaki sejauh 1,5 km. Tapi jarak tempuhnya jadi 9 km. Gak masalah sih yaa kalau bisa naik motor. Daripada cuma 7 km tapi jalan kaki menanjak gini. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kaki sudah terlanjur gempor. :D

Kami berhenti cukup lama untuk menanti Inka dan yang lain. Mulai dihidangkan kopi yang masih panas sampai kopinya dingin :D. Kemudian mereka bertiga datang. Sekarang gantian Robin, Sohib dan Zain yang berangkat duluan untuk mendirikan tenda. Tidak lama berhenti, kami berlima juga menyusul naik.

1,5 km yang tersisa ini jalannya makin sulit untuk dilewati. Sulitnya karena jalan yang becek dan licin ini membuat kami beberapa kali terpeleset. Bahkan Inka dan Indri sampai beberapa kali terjatuh. Kemudian ada beberapa orang yang membuat jalan pintas dengan sedikit naik ke tanah yang lebih tinggi. Karena jalan di depan sudah mustahil bisa dilewati. Mereka pun juga membantu kami untuk bisa naik ke jalan pintas tersebut. Gak tau namanya, bahkan wajah pun gak terlihat, tapi terima kasih untuk siapapun yang sudah membantu kami :)

Pukul 11 malam, aku dan mas sudah sampai di puncak. Inka dll masih tertinggal di belakang. Sedangkan Sohib, Robin dan Zain sedang mendirikan tenda. Kami membawa dua tenda. Yang satu sudah berdiri tegak. Aku pun duduk di tepi tenda, mengistirahatkan kaki. Tidak lama kemudian Inka, Aji dan Indri sampai di atas juga. Aku keluar tenda agar mereka bisa beristirahat. Kemudian aku mempersiapkan kompor untuk memasak air. Saat menyalakan kompor, apinya membesar. Mungkin karena pemasangan gasnya kurang rapat. Karena tidak mau mengambil resiko, kami memilih untuk beli mie instan dan teh hangat di warung saja. Iya, di puncak B29 ini ada beberapa warung yang buka 24 jam.

Aku, mas, Sohib, Robin dan Zain pergi ke warung. Sedangkan Inka, Aji dan Indri beristirahat di tenda. Kami masing-masing memesan mie instan berkuah. Mie instan di sini dihargai Rp 5.000 saja. Sedangkan jika ingin tambah nasi maka harus menambah uang Rp 2.000. Harga yang standar untuk sebuah warung di atas ketinggian 2900 mdpl.

Setelah selesai makan, kami kembali ke tenda. Udara di sini sangat dingin. Bahkan jaket tebal yang kukenakan tidak sepenuhnya bisa menahan dingin. Harusnya baju dalam diganti dengan baju yang kering, karena sudah basah dengan keringat. Tapi karena tidak bawa baju lebih, terpaksa tetap dipakai. Jadi dinginnya makin berasa. Tips : bawa baju lebih untuk ganti baju setelah tracking, agar tidak kedinginan.

Di tempat seperti ini sudah pasti tidak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi sepanjang malam ada saja motor tukang ojek yang mengantar pengunjung. Sehingga suaranya cukup mengganggu. Aku tidur bertiga bersama Inka dan Indri. Kurang lebih pukul setengah dua pagi, Indri menggigil kedinginan. Sepertinya pakaiannya setengah basah dari baju hingga celana. Ditambah juga atas tenda yang basah karena embun. Aku menyarankan mereka untuk ke warung saja, karena di warung-warung ada perapian. Lumayan untuk menghangatkan badan.

Akhirnya mereka berdua menuju warung dan sepertinya ditemani oleh Aji. Akupun tidur sendirian di tenda. Menjelang pagi dinginnya makin terasa. Terutama di bagian kaki. Kaus kaki tidak mampu menahan dinginnya. Akhirnya aku melilitkan sarung rapat-rapat menutupi seluruh telapak kaki. Lumayan dinginnya tidak terlalu menusuk. Aku memejamkan mata walaupun sangat mustahil bisa tidur.

Pukul 04.30 terdengar suara dari tenda sebelah, bahwa sunrise perlahan akan mulai nampak. Aku pun keluar tenda. Di luar sudah ada Aji, Inka, Indri dan juga Robin. Tiga orang lainnya masih asik menghangatkan diri di dalam tenda. Dari ketinggian 2900 mdpl, kami menanti sang fajar muncul di ufuk timur. Tapi sayangnya tidak beberapa lama kabutnya cukup tebal.




Kemudian kami mengalihkan pandangan menuju Gunung Bromo. Di kejauhan sana terlihat Gunung Bromo mengeluarkan asapnya. Tapi tepat di depan mata kami, ada  hamparan awan yang sangat luas. Kami seperti berada di atas awan. Subhanallah indahnya dan luar biasa ciptaan Tuhan ini. Kami pun tidak ingin ketinggalan mengabadikan foto. Eits, tapi jangan sampai keasyikan berfoto. Cobalah cari tempat yang tidak penuh orang, kemudian duduk dan nikmati hamparan alam yang tersaji di depan mata. Sebagai ungkapan rasa syukur karena diberi kesempatan untuk menikmati semesta. Karena belum tentu kita bisa kembali ke tempat yang sama. :)



 Lautan awan perlahan menghilang. Berganti dengan lautan pasir yang berada jauh di bawah sana. Sebelum turun, kami sarapan terlebih dahulu. Moment sarapan yang mahal dan istimewa walaupun menunya cuma mie instan :D. Sarapan di ketinggian 2900 mdpl, dengan pemandangan alam yang luar biasa, bersama orang tercinta #eh.



Setelah sarapan, kami pun beres-beres. Inka dan Indri tawar menawar dengan tukang ojek. Para tukang ojek ini mematok tarif Rp 40.000 untuk turun. Tapi itupun hanya sampai loket. Nanggung banget kalau cuma sampai loket, cuma 1,5 km dan masih harus jalan 7 km. Merekapun tidak jadi naik ojek. Jadi harus pintar-pintar negosiasi yaa biar gak rugi. Tapi kalau duitnya banyak sih gak masalah yaa.

Entah saat itu pukul berapa. Tapi kami bergegas turun, karena jalan kembali juga masih sangat panjang. Eh, tapi jangan lupa untuk membawa kembali sampah-sampahnya yaa. Atau masukkan aja sampahnya di kantong plastik besar, dan letakkan di tempat sampah yang ada di area puncak B29. Jangan biarkan sampahnya berserakan yang akan merusak alam.

Dalam perjalanan turun, lagi-lagi Robin, Sohib dan Zain sudah jauh di depan. Aku dan mas ada di tengah. Inka, Aji dan Indri ada di belakang. Tapi setelah aku berjalan melewati loket, mereka bertiga menyalip dengan naik ojek. :D Aku dan si mas tetap jalan kaki sampai ke rumah warga tempat kami menitipkan motor. Teman-teman yang lain sudah duduk santai di sana.

Setelah istirahat sebentar, kami pun beranjak pulang. Tarif penitipan motor ini dipatok Rp 10.000/motor/malam. Sepanjang perjalanan rasa kantuk terus menerjang. Motor dipacu agak cepat menuju rumah Robin. Sesampainya di rumah Robin, kami bergantian untuk mandi. Ada yang mandi, ada yang makan, ada juga yang tidur - termasuk aku :D.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Kami semua berpamitan kepada Robin dan keluarganya. Kemudian kami segera melaju kembali menuju Kota Malang. Sepanjang perjalanan Lumajang-Malang kami diguyur hujan. Aku dan mas sampai duluan di rumahku pukul setengah tujuh malam. Sedangkan yang lainnya lebih malam mungkin karena mereka sempat bbm sedang mampir makan duren dulu. :D

Bagaimana? Ingin mencoba mengunjungi puncak B29, negeri di atas awan ini? ^_^




You Might Also Like

2 komentar

  1. Aduh jadi ingat waktu liburan minggu kemarin, ke gunung subuh2 sampai di puncak jam setengah lima pagi. Tiba-tiba hujan deras, tidak ada tempat berteduh, tidak ada persiapan tenda karena perhitungannya akan sampai di puncak saat matahari mulai terbit. Semua perencanaan gagal dan berujung pada tubuh menggigil sampai jam 8 pagi. Keren banget nih mbak liburannya gak kayak saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, jadi memang harus dipersiapkan baik-baik untuk antisipasi cuaca yaa.. Semoga lain kali liburannya sukses. :)
      Makasih sudah mampir ^_^

      Delete

Like us on Facebook

Member of

Member of
Kumpulan Emak Blogger

Flickr Images

Subscribe